DEPOK, KOMPAS Pembenahan partai politik mendesak untuk segera dilakukan guna meningkatkan mutu demokrasi. Sebab, kecendungan yang terjadi selama ini partai politik tak optimal menjalankan fungsinya. Akibatnya, lahir pemimpin yang tidak memilik kapasitas dan integritas. Valina mengatakan, sejak pemilu 2004, sistem demokrasi di Indonesia menghadapi satu realitas multi partai yang tidak ideal. Peningkatan ambang batas parlemen disetiap pemilu nyatanya tidak berdampak pada penyederhanaan jumlah partai. Hasil pemilu 2019, misalnya, jumlah partai yang lolos ambang batas parlemen sebanyak Sembilan partai. Ini sekalipun ambang batas yang berlaku sebesar 4 persen atau naik dari sebelumnya 3,5 persen.
Ironisnya demi mencapai ambang itu, partai terkesan menghalalkan segala cara. Sebagai contoh, partai merekrut calon angota legislatif yang bermodal capital dan sosial yang kuat meskipun calon itu tidak mempunyai kapasitas. Akhirnya lahir pemimpin yang tidak berkapasitas dan tak berintegritas.“ karena itu diperlukan perbaikan-perbaikan yang bersifat sistemik dan kelembagaan terhadap partai politik” kata Valina.[1] Demikian atmosfer politik dan keadaan demokrasi di Indonesia saat ini.
Fakta yang ditampilkan di atas mengambarkan situasi politik yang membalut demokrasi di Indonesia yang mana mengalami persoalan. Partai politik lupa dengan esensi dari kehadiran mereka sehingga terkesan politik tidak lagi berdaya guna. Mereka seakan tidak sadar bahwa pada hakikatnya politik demokrasi itu yang menjadi titik fokus ialah kepentingan rakyat. Bukan mengutamakan kepentingan partai politik.
Menurut Aristoteles politik demokrasi itu adalah Negara bergerak di dalam kerangka prinsip kesetaraan antara manusia. Penguasa pun tidak lagi digilir berdasarkan darah atau orang terbaik yang ada di dalam masyarakat tersebut. Para penguasa dipilih, karena mereka dianggap bisah memberikan yang terbaik untuk masyarakat, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat luas. Dengan menjalankan peranannya, sang penguasa, yang dipilih secara bergantian, pun mendapat keuntungan yang berlimpah. “Seperti situasi alamiahnya,” demikian tulisan Aristoteles, “ orang akan bergantian melayani sebagai penguasa, dan sekali lagi, orang lain akan memperhatikan kepentingannya, sama seperti dia, ketika ia memimpin, memperhatikan kepentingan mereka.” Inilah politik yang ideal menurut Aristoteles[2].
Di Indonesia, demokrasi hanya nama untuk pencitraan semata, dan tidak memiliki isi yang asli. Yang sesungguhnya menjadi system politik di Indonesia sekarang ini adalah oligarki, yakni pemerintahan oleh beberapa orang kaya untuk kepentingan orang-orang kaya juga. Kepentingan bersama nyaris tak pernah menjadi pertimbangan, kecuali kepentingan bersama tersebut berurusan dengan kepentingan para orang kaya. Sekarang ini, para penguasa politik adalah orang-orang kaya secara ekonomi, sehingga mereka mempunyai modal untuk pemilu atau pilkada. Dari pratek itu dapat disimpulkan bahwa pada tujuan akhir dari politik ialah untuk kepentingan pribadi dan kelompok yang menjadi pengusung parpol tersebut.[3]
Realitas demikian yang member tanda bahwa politik yang sedang berlangsung di Tanah Air mengalami penurunan kredibilitasnya. Semua itu terjadi karena kurangnya pembenahan dari pemerintah terhadap persoalan yang sudah menana ini. Sehingga yang terjadi munculnya praktek politik yang tidak mencermikan system politik demokrasi. Akhirnya dengan usaha yang dilakukan, membantuh proses pembenahan persoalan ini. Sehingga system politik demokrasi di Indonesia bukan hanya sebagai nama saja melainkan nama yang mempunyai roh kehidupan bagi Indonesia.
[1]Kompas (Kamis, 13 Mei 2021) DituntutBerbenahParpol ,hal. 2
[2]Reza A. A. Wattimena, Demokrasi Dasar Filosofis dan Tantangannya,( Yogyakarta: Kanisius, 2016) hal. 25
[3]Ibid.,hal. 29